ADAT ISTIADAT PASEMAH KEDURANG
Pada legenda
Puyang Serunting atau yang tak lain adalah si Pahit Lidah memapaparkan mengenai
kebenaran Puyang serunting sebagai nenek moyang masyarakat Kedurang yang
keturunannya hingga saat ini masih hidup di Kedurang.
Keturunan
Puyang Serunting ini, memiliki ciri-ciri berjari telunjuk bengkok. Kedua
telunjuk dari kedua tangan keturunan Puyang Serunting ini tidak bisa
didempetkan antara satu dengan yang lain.
Menurut
legenda, Puyang serunting ini berasal dari Tanah Pasemah. Kemudian ia mencari
ilmu ke Tanah Jawa, yaitu ke Kerajaan Maja Pahit. Disana ia menemui Raja Maja
pahit dan kemudian diludahi olehnya sembari berkata “Pulanglah kamu, nanti apa
yang kamu katakan akan terjadi”.
Maka pulanglah
Puyang Serunting ke tanah Pasemah. Diperjalanan ia menemui seseorang sedang
memakan buah berwarna hijau, kemudian ditanya dengan Puyang Serunting “apa yang
kamu makan itu?” namun orang yang memakan buah maja yang manis itu tidak
menjawabnya. Disumpahnya oleh Puyang Serunting “jadilah pahit buah maja”, maka
dengan seketika buah maja yang manis menjadi pahit. Dan masih banyak lagi
sumpah Puyang Serunting lainnya.
Puyang
Serunting juga pernah menduduki Tanah Bengkulu, terbukti dengan adanya legenda
yang sama di suku Rejang dan suku Serawai yang mengakui Puyang Serunting atau
Si Pahit Lidah sebagai nenek moyang mereka. Begitu juga dengan masyarakat Kedurang dan suku Pasemah.
Kedurang adalah sebuah kecamatan di
Bengkulu Selatan. Kecamatan kedurang terdiri dari 26 desa. Kondisi alamnya
bertebing-tebing yang di aliri sungai berair jernih dan berbatu. Jika dilihat
dari atas awan, Kedurang tampak hijau dengan bukit barisan di tepinya. Karena
dekat dengan pegunungan, tanah di daerah ini berbatu. Dalam hal pertanian tidak
asing jika di sawah-sawah penduduk banyak terdapat batu.
Masyarakat Kedurang tergolong suku
pasemah. Kebanyakan suku di daerah Bengkulu Selatan adalah suku serawai, namun
Kedurang dan Padang Guci yang termasuk ke suku pasemah. Pasemah sendiri
sebenarnya adalah sebuah tempat di daerah Sumatera selatan, namun jaraknya
dengan Kedurang hanya dibatasi oleh Bukit Barisan.
Secara historis, suku Pasemah
dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah
pedalaman di Sumatera Selatan. Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat
yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumatera Selatan saat ini dengan
Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah
diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai,
Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah
sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat. Menurut berbagai literatur, semua wilayah
itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah.
Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar
kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan Pasemah itu sendiri,
seperti diakui Mohammad Saman, budayawan dan salah seorang sesepuh di sana,
berawal dari kesalahan pengucapan orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat
untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja,
karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan
yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan
Pasemah.
Belakangan bahkan hingga 57 tahun
Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan:
Pasemah. Pengucapan orang
Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar.
Kata Besemah itu sendiri, konon
berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang)
mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang
mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut
Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada
(banyak) ikan semahnya.
PASEMAH adalah salah satu kelompok
masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya
yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah
Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang
bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni
yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen
masyarakat setempat.
Setiap suku
bangsa tentunya memiliki pakaian adat masing-masing. Begitu juga dengan
Kedurang dan Suku Pasemah. Pakaian adat Kedurang sekarang sudah jarang
dikenakan oleh masyarakat Kedurang
sehari-hari.
Pakaian adat Kedurang untuk perempuan adalah
kebaya. Memang kebaya dipakai sebagai pakaian adat nasional. Kebaya dulunya
digunakan di zaman nenek monyang. Mereka memakainya dalam kehidupan
sehari-hari, seperti pergi kepasar mereka memakai kebaya.
Bagi kaum
laki-laki, pakaian adatnya adalah kemeja dengan jas, celana panjang menggunakan
sarung sampai ke lutut. Pakaian adat bagi kaum pria ini tidak seperti pakaian
adat yang dipakai kaum perempuan pada sehari-hari namun pakaian adat untuk
laki-laki ini dipakai untuk acara-acara penting seperti pernikahan, atau
syukuran.
Untuk pakaian
adat pernikahan, pakaian adat Kedurang untuk
pernikahan terbuat dari bahan beludru berwarna merah. Baik pengantin adat pria
dan wanita menggunakan pakaian adat yang berbahan beludru ini.
Untuk kaum
pria, pakaian adatnya memakai songket yang seperti sarung, dan memakai pakaian pengantin yang berbahan
beludru merah. Pakaian ini juga di lengkapi aksesoris berupa manik-manik
seperti uang logam berwarna emas. Dan pada bagian kepala menggunakan semacam
mahkota yang terbuat dari beludru merah dan dengan aksesoris seperti pakaian
yang dikenakan, yaitu manik-manik seperti uang logam berwarna emas, menggunakan
kalung emas berupa tanduk kerbau. Makna dari pakaian adat ini adalah sebagai
keagungan dan lambang kemakmuran.
Begitu juga
dengan pakaian adat pernikahan untuk kaum wanita, menggunakan bahan beludru
merah, namun aksesorisnya lebih banyak dari kaum pria. Di bagian dada
menggunakan lapisan lagi yang terbuat dari bahan beludru merah yang berbentuk
seperti samir pada pakaian wisuda mahasiswa. Pada bagian ini banyak diletakkan
aksesoris keemasan, menggunakan kalung emas seperti tanduk kerbau. Pada bagian
kepala, menggunakan mahkota yang disebut “singal”. Singal ini dilengkapi dengan
semacam konde-konde emas. Maknanya juga sama yaitu sebagai keagungan dan
kemakmuran.
Dalam adat Kedurang, juga terdapat hukum adat. Hukum ini bersifat mutlak bagi yang
melanggarnya. Hukum adat yang terdapat di daerah Kedurang salah satunya adalah
hukuman bagi pasangan yang melakukan perzinahan. Hukuman yang harus ditanggung
oleh pelaku perzinahan adalah memotong seekor kambing.
Apabila
terdapat seorang perempuan dan seorang laki-laki melakukan hubungan diluar
nikah, atau perzinahan dan diketahui oleh warga, maka mereka akan dikenakan
denda berupa seekor kambing. Kambing yang mereka sediakan tersebut, akan
disembelih oleh para tetua desa. Bisa dikatakan sebagai nenek-nenek atau
kakek-kakek yang ada di suatu dusun tempat sepasang pemuda yang melakukan
hubungan perzinahan. Kambing tersebut disembelih di tempat yang terdapat di
pinggir desa tersebut. Setelah para tetua menyembelih kambing tersebut dan
dimasak oleh para tetua perempuan atau nenek-nenek. Setelah masak, kambing yang
dimasak berupa gulai, atau sebagainya dimakan oleh para tetua tersebut.
Bahasa Kedurang
sama dengan bahasa Pasemah yaitu berdialek “e”. Berbeda dengan suku serawai
yang berdialek “o” dan “aw”. Bahasa yang tampak membedakan dengan suku serawai
seperti : dide yang berarti tidak, dalam bahasa serawai nido atau nidaw. Dalam
dialek Kedurang, huruf “R” sering diucapkan dengan “Ngh”. Seperti nghungau atau
begadang bila disebutkan dalam bahasa Indonesia disebutkan rungau.
Suku Pasemah
seperti pada umumnya suku melayu, banyak terdapat pantun dan puisi-puisi. Namun
ada juga sastra lisan yang digunakan oleh masyarakat Pasemah, seperti “betadut”
yaitu tradisi dalam suasana berkabung. Betadut ini adalah sebuah tradisi dimana
seseorang yang usianya lanjut atau tua yang menceritakan kisah hidup seseorang
yang telah meninggal. Betadut dilakukan pada malam hari setelah jenazah orang
yang diceritakan dalam tradisi betadut ini dimakamkan.
Orang yang
melakukan tradisi ini juga harus orang yang benar-benar mengetahui jalan hidup
orang yang telah meninggal tersebut. Orang yang betadut ini pun harus bisa
bercerita, petadut ini berposisi menunduk sambil mengingat-ingat apa saja yang
pernah dilakukan oleh orang yang telah meninggal tersebut. Ceritanya ini bisa
sampai semalam suntuk, dan didengarkan oleh keluarga dan kerabat yang sedang
berduka.
Di Kedurang
terdapat satu jenis pantun yang disebut Pantun Besambut (Gayung Besambut) yaitu
berbalas pantun dan Pantun Ratapan. Pantun-pantun yang terdapat didaerah ini
menggunakan bahasa Pasemah Semende. Berikut ini terdapat beberapa contoh Pantun
Besambut dan Pantun Ratapan yang bersal dari Kedurang.
Pencucian benda
pusaka tidak hanya ada di daerah Jawa saja. Di Kedurangpun ada tradisi
pencucian benda pusaka. Benda pusaka ini berupa keris. Keris keramat ini dicuci
pada bulan Muharam.
Orang yang
melakukan pencucian benda pusaka ini tidak boleh orang sembarangan. Yang dapat
mencuci dan menyimpan benda pusaka ini hanyalah keturunan Puyang Serunting yang
bertelunjuk bengkok. Keris ini dicuci dengan air jeruk nipis hingga bersih.
Kedurang
memiliki sebuah cerita yaitu Pak beluk,Pak beluk adalah seorang perjaka tua
yang malas. Karena telah merasa berusia tua, ia ingin menikah. Lalu
dikatakannya niatnya ini kepada neneknya. Kata neneknya carilah istri yang
tidak mau makan. Maksud dari perkataan neneknya itu mana ada perempuan yang mau
dinikahi bila suaminya tidak dapat menfkahinya. Dan carilah isteri yang giat
bekerja dan mau menerima ia apa adanya.
Namun perkataan
neneknya itu diterima mentah-mentah oleh Pak Beluk. Ia mencari-cari perempuan
yang tidak mau makan. Akhirnya ia mendapatkan seorang nenek-nenek tua yang
makannya hanya sesendok nasi. Karena sudah terlalu tua, diperjalanan waktu
dibawa pulang ke rumah Pak beluk calon isterinya yang telah tua itu meninggal
dunia.
Cerita humor
ini sangat familiar di masyarakat Kedurang. Apabila ada sesorang lelaki yang
bertindak bodoh, maka ia akan diejek dengan kata Pak Beluk.
Rumah adat atau
tradisional Kedurang dinamakan rumah tinggi atau rumah panggung. Rumah
tradisional ini disebut rumah tinggi karena ukuran rumah sangat tinggi. Rumah
tradisional Kedurang berukuran tinggi dengan menggunakan tiang karena pada jaman
dulu keadaan Kedurang masih sepi dan masih banyak hewan buas. Agar tidak
diganggu binatang buas maka masyarakat Kedurang membuat rumahnya tinggi-tinggi.
Rumah
tradisional Kedurang berbahan dasar kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat
rumah tradisional ini bukan sembarang kayu, namun menggunakan kayu yang
berkelas seperti tenam, meranti, dan kayu sungkai. Kayu ini diambil dari hutan
di hulu sungai Kedurang. Pada jaman dulu kayu jenis tenam, meranti, dan sungkai
masih banyak dan mudah diperoleh.
Agar kayu dapat
bertahan lama untuk membuat rumah, kayu terlebih dahulu direndam di sungai
selama beberapa hari. Kayu yang direndam ini akan bertahan lama dari keropos
karena digerogoti rayap dibanding kayu yang tidak direndam.
Setelah itu
kayu dipotong menjadi papan dengan gergaji panjang, karena pada jaman dulu
belum ada gergaji mesin atau mesin pemotong kayu. Stelah itu kayu yang telah
menjadi papan dijemur beberapa hari agar mengering. Untuk mendapatkan permukaan
papan yang halus, papan tersebut diratakkan dengan sugu.Untuk tiang rumah
digunakan kayu gelondongan sepanjang kurang lebih tiga meter.Tiang terdiri dari
sembilan sampai belasan tiang sesuai dengan ukuran rumah. Kayu untuk tiang pun
juga digunakan kayu dengan jenis tenam atau sungkai.
Rumah
tradisional Kedurang ini memiliki satu ruangan utama yang berukuran sekitar 10
x 8 meter persegi. Ruangan ini digunakan untuk berkumpulnya seluruh anggota
keluarga apabila ada suatu hal yang harus dimusyawarahkan. Ruangan ini juga
berfungsi untuk berkumpul apabila ada syukuran. Kamar rumah adat Kedurang bisa terdiri dari tiga sampai lima kamar, yang disebut dengan
“bilik”. Posisi kamar berjejer satu arah dengan pada sisi rumah yang sama.
Dinding dan
lantai rumah juga terbuat dari papan yang telah dihaluskan. Tiang yang teletak
di “berende” atau teras rumah tingginya sekitar dua setengah meter. Tiang
dibuat berbentuk bulat, namun ada juga yang berbentuk persegi panjang. Tiang
diukir sesuai selera si pemilik rumah, tidak ada makna dalam ukiran tiang.
Pada bagian
atap rumah adat Kedurang dulu menggunakan atap bambu yang disebut “atap
gelumpai”. Atap ini terbuat dari bambu yang dibelah seperti sembilu. Orang dulu
menggunakan atap gelumpai karena belu ada atap seng. Atap gelumpai ini dapat
bertahan hingga tujuh tahun.
Pada bagian
belakang rumah terdapat “geghang” yaitu tempat mencuci piring. Geghang ini
terbuat dari bambu yang dibelah dan disatukan berjajar dengan sedikit sela
diantara satu bilah dengan bilah lainnya tujuannya adalah agar air dapat dengan
mudah jatuh kebawah rumah.
Pada kolong
rumah diletakkan tumpukan kayu bakar untuk memasak. Kayu bakar yang ditumpuk
banyak hingga sampai ke lantai rumah. Tradisinya, bagi yang memiliki tumpukan
kayu bakar sedikit akan dikatakan pemalas oleh tetangga dan masyarakat dusun,
sehingga kebanyakan orang dulu menumpuk banyak-banyak kayu bakar hingga
memenuhi hampir seluruh kolong rumah.
Masyarakat
Kedurang berprofesi sebagai petani pada umumnya. Petani di Kedurang umumnya
menanan padi dan kopi. Seperti penulis paparkan sebelumnya, kondisi alam
Kedurang bertebing, dan tanahnya mengandung bebatuan. Salah satu dampaknya
adalah sawah yang ada di Kedurang banyak
berbatu, namun sangat subur. Begitu juga dengan kopi, petani menanamnya
dibukit-bukit dibelakang dusun.
Di Kedurang
terdapat sebuah sungai, yaitu sungai air Kedurang. Dengan adanya air sungai
sistem irigasi sawah menjadi lancar. Sawah terairi dengan mudah, sehingga hasil
panen bagus. Beras Kedurang terkenal hingga ke Pulau Jawa. Beras kedurang
berkualitas baik, berasnya putih, pulen dan beraroma wangi sehingga enak bila
memakannya.
Petani padi
menanam padi maksimal tiga kali dalam setahun. Saat menanam padi, penduduk
melakukannya dengan cara berkelompok. Para pekerja kelompok ini diupah oleh
orang yang memiliki sawah dengan padi hasil panen kelak. Yang melakukan kerja
kelompok ini adalah kaum ibu-ibu.
Tidak hanya
dalam menanam padi mereka bekerja kelompok, namun juga saat panen tiba.
Memotong padi, merontokkan padi mereka bekerja kelompok. Namun dalam proses
penjemuran padi hingga penggilingan padi mereka tidak bekerja kelompok lagi,
hanya yang memiliki padi yang mengerjakannya.
Untuk tempat
penyimpanan beras orang Kedurang menyimpannya di sebuah pondok yang terletak di
depan atau disamping rumah. Lumbung padi ini di sebut “Tengkiang”. Tengkiang
berukurang empat kali tiga meter persegi.Untuk meggiling padi hingga menjadi
beras masyarakat Kedurang dulu menngunakan tumbukan yang dinamakan “lesung”,
dan alat penumbuknya dinamakan “anak lesung”. Yang menumbuk padi menjadi beras
biasanya adalah ibu-ibu. Namun juga bisa dilakukan oleh kaum pria.
Lemang adalah makanan yang biasanya
disajikan dengan tapai. Meski lemang selalu tersedia setiap saat, namun
keberadaan lemang akan ‘lebih terasa’ pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Saat ini lemang banyak dijual di banyak daerah, namun para penggemar
lemang akan sepakat bahwa lemang yang paling enak adalah lemang yang berasal
dari daerah asalnya, yakni Kedurang.
Lemang bisa dianalogikan dengan
lontong jika di jawa ataupun ketupat, hanya saja rasanya dan cara pembuatannya
sedikit berbeda. Perbedaan terutama karena adanya unsur santan, sehingga
membuat lemang lebih gurih dan relatif berlemak. Perbedaan lainnya adalah bahan
pembuatnya. Meski bahan dasar lemang adalah beras, namun ada juga yang
menggunakan beras ketan atau bahkan ketan. Yang membedakan beras dan beras
ketan atau ketan adalah daya tahan serta cita rasanya.
Cara membungkus lemang hampir serupa
dengan lontong, namun cara memasaknya yang membuatnya juga cukup unik, yakni
dengan memasukkan beras ketan ke dalam bambu.
Selanjutnya bambu tersebut dibakar.
Cara membakar lemang akan menentukan rasa. Secara tradisional, bambu ini biasanya dibakar dengan menggunakan kayu bakar selama waktu tertentu. Sedangkan di jaman modern seperti
sekarang, metode memasaknya beraneka ragam, bisa menggunakan oven, microwave,
ataupun kompor gas. Namun tentu saja rasanya tidak seenak lemang yang dimasak dengan cara tradisional.
Lemang yang
terbuat dari beras ketan lebih enak dimakan bersamaan tapai ketan hitam, dibandingkan dengan lemang yang terbuat
dari beras. Rasanya yang gurih serta teksturnya yang kenyal membuat lemang
beras ketan lebih cocok di lidah penulis. Sedikit subyektif memang, tapi
kenyataannya, lemang beras ketan lebih cepat habis dibandingkana lemang beras
biasa.
ENJAK DIMANE, CEFRITE KABAH INI DING.. TOLONG KIRIMKAN BUKTI USTIK SAJE..?
ReplyDeleteAsli njak kami kedurang nian cerite tu,,,, teghingat nga bak/mak, aku mbace cerite kamu ni kang,,,,
ReplyDeletesanak blh mintak nmr hp yg bisa di hubungi ? aku ndak sharing ringan masalah adat kedurang untuk bahan skripsi kirim via email sanak nmr hp nyo tolong nn rachmataqbar@yahoo.co.id
ReplyDeleteMantap.. Hebat dan bangga ade ye melestarikan cerite tentang kedurang
ReplyDelete