Saturday, May 26, 2012

cerita rakyat bengkulu selatan-ADAT ISTIADAT PASEMAH KEDURANG


ADAT ISTIADAT PASEMAH KEDURANG
Pada legenda Puyang Serunting atau yang tak lain adalah si Pahit Lidah memapaparkan mengenai kebenaran Puyang serunting sebagai nenek moyang masyarakat Kedurang yang keturunannya hingga saat ini masih hidup di Kedurang.
Keturunan Puyang Serunting ini, memiliki ciri-ciri berjari telunjuk bengkok. Kedua telunjuk dari kedua tangan keturunan Puyang Serunting ini tidak bisa didempetkan antara satu dengan yang lain.
Menurut legenda, Puyang serunting ini berasal dari Tanah Pasemah. Kemudian ia mencari ilmu ke Tanah Jawa, yaitu ke Kerajaan Maja Pahit. Disana ia menemui Raja Maja pahit dan kemudian diludahi olehnya sembari berkata “Pulanglah kamu, nanti apa yang kamu katakan akan terjadi”.
Maka pulanglah Puyang Serunting ke tanah Pasemah. Diperjalanan ia menemui seseorang sedang memakan buah berwarna hijau, kemudian ditanya dengan Puyang Serunting “apa yang kamu makan itu?” namun orang yang memakan buah maja yang manis itu tidak menjawabnya. Disumpahnya oleh Puyang Serunting “jadilah pahit buah maja”, maka dengan seketika buah maja yang manis menjadi pahit. Dan masih banyak lagi sumpah Puyang Serunting lainnya.
Puyang Serunting juga pernah menduduki Tanah Bengkulu, terbukti dengan adanya legenda yang sama di suku Rejang dan suku Serawai yang mengakui Puyang Serunting atau Si Pahit Lidah sebagai nenek moyang mereka. Begitu juga dengan masyarakat Kedurang dan suku Pasemah.
Kedurang adalah sebuah kecamatan di Bengkulu Selatan. Kecamatan kedurang terdiri dari 26 desa. Kondisi alamnya bertebing-tebing yang di aliri sungai berair jernih dan berbatu. Jika dilihat dari atas awan, Kedurang tampak hijau dengan bukit barisan di tepinya. Karena dekat dengan pegunungan, tanah di daerah ini berbatu. Dalam hal pertanian tidak asing jika di sawah-sawah penduduk banyak terdapat batu.
Masyarakat Kedurang tergolong suku pasemah. Kebanyakan suku di daerah Bengkulu Selatan adalah suku serawai, namun Kedurang dan Padang Guci yang termasuk ke suku pasemah. Pasemah sendiri sebenarnya adalah sebuah tempat di daerah Sumatera selatan, namun jaraknya dengan Kedurang hanya dibatasi oleh Bukit Barisan.
Secara historis, suku Pasemah dulunya hanya merupakan suatu kelompok masyarakat yang bermukim di wilayah pedalaman di Sumatera Selatan. Suku Pasemah ini diidentikkan dengan masyarakat yang bermukim di daerah perbatasan Provinsi Sumatera Selatan saat ini dengan Provinsi Bengkulu.Secara administratif pemerintahan saat ini, wilayah Pasemah diakui meliputi daerah sekitar Kota Pagar Alam, wilayah Kecamatan Jarai, Kecamatan Tanjung Sakti, yang berbatasan dengan wilayah Bengkulu, dan daerah sekitar Kota Agung, Kabupaten Lahat. Menurut berbagai literatur, semua wilayah itu pada masa kolonial Belanda memang termasuk bagian dari Kewedanaan Pasemah. Sedangkan secara geografis, bisa disebut adalah mereka yang bermukim di sekitar kaki dan lembah Gunung Dempo sekarang.
Penyebutan Pasemah itu sendiri, seperti diakui Mohammad Saman, budayawan dan salah seorang sesepuh di sana, berawal dari kesalahan pengucapan orang Belanda. Padahal, pengucapan yang tepat untuk menyebut kelompok masyarakat ini sebetulnya adalah Besemah. Hanya saja, karena lidah Belanda tidak bisa mengucap awalan "Be" dari Besemah dan yang terucap hanya "Pa", maka mereka akhirnya menyebut dengan Pasemah.
Belakangan bahkan hingga 57 tahun Indonesia merdeka, yang paling populer di tengah masyarakat justru sebutan: Pasemah. Pengucapan orang Belanda yang menyebut Pasemah itu, ternyata yang paling populer di luar.
Kata Besemah itu sendiri, konon berawal dari "kekagetan" Atong Bungsu, puyang (nenek moyang) mereka ketika melihat banyaknya ikan "Semah" di sebuah sungai yang mengalir di lembah Dempo. Menyaksikan ikan itu, tiba-tiba terucap dari mulut Atong Bungsu kalimat; Besemah..., Besemah...! yang artinya di sungai itu ada (banyak) ikan semahnya.
PASEMAH adalah salah satu kelompok masyarakat tradisional yang kaya dengan nilai-nilai adat, tradisi, dan budaya yang sangat khas. Seperti yang dijelaskan Mohammad Saman, masyarakat di tanah Pasemah sedari dulu sudah mempunyai tatanan dan aturan-aturan masyarakat yang bernama "Lampik Empat, Merdike Due" yakni, perwujudan demokrasi murni yang muncul, berkembang, dan diterapkan sepenuhnya, oleh semua komponen masyarakat setempat.
Setiap suku bangsa tentunya memiliki pakaian adat masing-masing. Begitu juga dengan Kedurang dan Suku Pasemah. Pakaian adat Kedurang sekarang sudah jarang dikenakan oleh masyarakat Kedurang sehari-hari.
Pakaian adat Kedurang untuk  perempuan adalah kebaya. Memang kebaya dipakai sebagai pakaian adat nasional. Kebaya dulunya digunakan di zaman nenek monyang. Mereka memakainya dalam kehidupan sehari-hari, seperti pergi kepasar mereka memakai kebaya.
Bagi kaum laki-laki, pakaian adatnya adalah kemeja dengan jas, celana panjang menggunakan sarung sampai ke lutut. Pakaian adat bagi kaum pria ini tidak seperti pakaian adat yang dipakai kaum perempuan pada sehari-hari namun pakaian adat untuk laki-laki ini dipakai untuk acara-acara penting seperti pernikahan, atau syukuran.
Untuk pakaian adat pernikahan, pakaian adat Kedurang untuk pernikahan terbuat dari bahan beludru berwarna merah. Baik pengantin adat pria dan wanita menggunakan pakaian adat yang berbahan beludru ini.
Untuk kaum pria, pakaian adatnya memakai songket yang seperti sarung, dan  memakai pakaian pengantin yang berbahan beludru merah. Pakaian ini juga di lengkapi aksesoris berupa manik-manik seperti uang logam berwarna emas. Dan pada bagian kepala menggunakan semacam mahkota yang terbuat dari beludru merah dan dengan aksesoris seperti pakaian yang dikenakan, yaitu manik-manik seperti uang logam berwarna emas, menggunakan kalung emas berupa tanduk kerbau. Makna dari pakaian adat ini adalah sebagai keagungan dan lambang kemakmuran.
Begitu juga dengan pakaian adat pernikahan untuk kaum wanita, menggunakan bahan beludru merah, namun aksesorisnya lebih banyak dari kaum pria. Di bagian dada menggunakan lapisan lagi yang terbuat dari bahan beludru merah yang berbentuk seperti samir pada pakaian wisuda mahasiswa. Pada bagian ini banyak diletakkan aksesoris keemasan, menggunakan kalung emas seperti tanduk kerbau. Pada bagian kepala, menggunakan mahkota yang disebut “singal”. Singal ini dilengkapi dengan semacam konde-konde emas. Maknanya juga sama yaitu sebagai keagungan dan kemakmuran.
Dalam adat Kedurang, juga terdapat hukum adat. Hukum ini bersifat mutlak bagi yang melanggarnya. Hukum adat yang terdapat di daerah Kedurang salah satunya adalah hukuman bagi pasangan yang melakukan perzinahan. Hukuman yang harus ditanggung oleh pelaku perzinahan adalah memotong seekor kambing.
Apabila terdapat seorang perempuan dan seorang laki-laki melakukan hubungan diluar nikah, atau perzinahan dan diketahui oleh warga, maka mereka akan dikenakan denda berupa seekor kambing. Kambing yang mereka sediakan tersebut, akan disembelih oleh para tetua desa. Bisa dikatakan sebagai nenek-nenek atau kakek-kakek yang ada di suatu dusun tempat sepasang pemuda yang melakukan hubungan perzinahan. Kambing tersebut disembelih di tempat yang terdapat di pinggir desa tersebut. Setelah para tetua menyembelih kambing tersebut dan dimasak oleh para tetua perempuan atau nenek-nenek. Setelah masak, kambing yang dimasak berupa gulai, atau sebagainya dimakan oleh para tetua tersebut.
Bahasa Kedurang sama dengan bahasa Pasemah yaitu berdialek “e”. Berbeda dengan suku serawai yang berdialek “o” dan “aw”. Bahasa yang tampak membedakan dengan suku serawai seperti : dide yang berarti tidak, dalam bahasa serawai nido atau nidaw. Dalam dialek Kedurang, huruf “R” sering diucapkan dengan “Ngh”. Seperti nghungau atau begadang bila disebutkan dalam bahasa Indonesia disebutkan rungau.
Suku Pasemah seperti pada umumnya suku melayu, banyak terdapat pantun dan puisi-puisi. Namun ada juga sastra lisan yang digunakan oleh masyarakat Pasemah, seperti “betadut” yaitu tradisi dalam suasana berkabung. Betadut ini adalah sebuah tradisi dimana seseorang yang usianya lanjut atau tua yang menceritakan kisah hidup seseorang yang telah meninggal. Betadut dilakukan pada malam hari setelah jenazah orang yang diceritakan dalam tradisi betadut ini dimakamkan.
Orang yang melakukan tradisi ini juga harus orang yang benar-benar mengetahui jalan hidup orang yang telah meninggal tersebut. Orang yang betadut ini pun harus bisa bercerita, petadut ini berposisi menunduk sambil mengingat-ingat apa saja yang pernah dilakukan oleh orang yang telah meninggal tersebut. Ceritanya ini bisa sampai semalam suntuk, dan didengarkan oleh keluarga dan kerabat yang sedang berduka.
Di Kedurang terdapat satu jenis pantun yang disebut Pantun Besambut (Gayung Besambut) yaitu berbalas pantun dan Pantun Ratapan. Pantun-pantun yang terdapat didaerah ini menggunakan bahasa Pasemah Semende. Berikut ini terdapat beberapa contoh Pantun Besambut dan Pantun Ratapan yang bersal dari Kedurang.
Pencucian benda pusaka tidak hanya ada di daerah Jawa saja. Di Kedurangpun ada tradisi pencucian benda pusaka. Benda pusaka ini berupa keris. Keris keramat ini dicuci pada bulan Muharam.
Orang yang melakukan pencucian benda pusaka ini tidak boleh orang sembarangan. Yang dapat mencuci dan menyimpan benda pusaka ini hanyalah keturunan Puyang Serunting yang bertelunjuk bengkok. Keris ini dicuci dengan air jeruk nipis hingga bersih.
Kedurang memiliki sebuah cerita yaitu Pak beluk,Pak beluk adalah seorang perjaka tua yang malas. Karena telah merasa berusia tua, ia ingin menikah. Lalu dikatakannya niatnya ini kepada neneknya. Kata neneknya carilah istri yang tidak mau makan. Maksud dari perkataan neneknya itu mana ada perempuan yang mau dinikahi bila suaminya tidak dapat menfkahinya. Dan carilah isteri yang giat bekerja dan mau menerima ia apa adanya.
Namun perkataan neneknya itu diterima mentah-mentah oleh Pak Beluk. Ia mencari-cari perempuan yang tidak mau makan. Akhirnya ia mendapatkan seorang nenek-nenek tua yang makannya hanya sesendok nasi. Karena sudah terlalu tua, diperjalanan waktu dibawa pulang ke rumah Pak beluk calon isterinya yang telah tua itu meninggal dunia.
Cerita humor ini sangat familiar di masyarakat Kedurang. Apabila ada sesorang lelaki yang bertindak bodoh, maka ia akan diejek dengan kata Pak Beluk.
Rumah adat atau tradisional Kedurang dinamakan rumah tinggi atau rumah panggung. Rumah tradisional ini disebut rumah tinggi karena ukuran rumah sangat tinggi. Rumah tradisional Kedurang berukuran tinggi dengan menggunakan tiang karena pada jaman dulu keadaan Kedurang masih sepi dan masih banyak hewan buas. Agar tidak diganggu binatang buas maka masyarakat Kedurang membuat rumahnya tinggi-tinggi.
Rumah tradisional Kedurang berbahan dasar kayu. Kayu yang digunakan untuk membuat rumah tradisional ini bukan sembarang kayu, namun menggunakan kayu yang berkelas seperti tenam, meranti, dan kayu sungkai. Kayu ini diambil dari hutan di hulu sungai Kedurang. Pada jaman dulu kayu jenis tenam, meranti, dan sungkai masih banyak dan mudah diperoleh.
Agar kayu dapat bertahan lama untuk membuat rumah, kayu terlebih dahulu direndam di sungai selama beberapa hari. Kayu yang direndam ini akan bertahan lama dari keropos karena digerogoti rayap dibanding kayu yang tidak direndam.
Setelah itu kayu dipotong menjadi papan dengan gergaji panjang, karena pada jaman dulu belum ada gergaji mesin atau mesin pemotong kayu. Stelah itu kayu yang telah menjadi papan dijemur beberapa hari agar mengering. Untuk mendapatkan permukaan papan yang halus, papan tersebut diratakkan dengan sugu.Untuk tiang rumah digunakan kayu gelondongan sepanjang kurang lebih tiga meter.Tiang terdiri dari sembilan sampai belasan tiang sesuai dengan ukuran rumah. Kayu untuk tiang pun juga digunakan kayu dengan jenis tenam atau sungkai.
Rumah tradisional Kedurang ini memiliki satu ruangan utama yang berukuran sekitar 10 x 8 meter persegi. Ruangan ini digunakan untuk berkumpulnya seluruh anggota keluarga apabila ada suatu hal yang harus dimusyawarahkan. Ruangan ini juga berfungsi untuk berkumpul apabila ada syukuran. Kamar rumah adat Kedurang bisa terdiri dari tiga sampai lima kamar, yang disebut dengan “bilik”. Posisi kamar berjejer satu arah dengan pada sisi rumah yang sama.
Dinding dan lantai rumah juga terbuat dari papan yang telah dihaluskan. Tiang yang teletak di “berende” atau teras rumah tingginya sekitar dua setengah meter. Tiang dibuat berbentuk bulat, namun ada juga yang berbentuk persegi panjang. Tiang diukir sesuai selera si pemilik rumah, tidak ada makna dalam ukiran tiang.
Pada bagian atap rumah adat Kedurang dulu menggunakan atap bambu yang disebut “atap gelumpai”. Atap ini terbuat dari bambu yang dibelah seperti sembilu. Orang dulu menggunakan atap gelumpai karena belu ada atap seng. Atap gelumpai ini dapat bertahan hingga tujuh tahun.
Pada bagian belakang rumah terdapat “geghang” yaitu tempat mencuci piring. Geghang ini terbuat dari bambu yang dibelah dan disatukan berjajar dengan sedikit sela diantara satu bilah dengan bilah lainnya tujuannya adalah agar air dapat dengan mudah jatuh kebawah rumah.
Pada kolong rumah diletakkan tumpukan kayu bakar untuk memasak. Kayu bakar yang ditumpuk banyak hingga sampai ke lantai rumah. Tradisinya, bagi yang memiliki tumpukan kayu bakar sedikit akan dikatakan pemalas oleh tetangga dan masyarakat dusun, sehingga kebanyakan orang dulu menumpuk banyak-banyak kayu bakar hingga memenuhi hampir seluruh kolong rumah.
Masyarakat Kedurang berprofesi sebagai petani pada umumnya. Petani di Kedurang umumnya menanan padi dan kopi. Seperti penulis paparkan sebelumnya, kondisi alam Kedurang bertebing, dan tanahnya mengandung bebatuan. Salah satu dampaknya adalah sawah yang ada di Kedurang banyak berbatu, namun sangat subur. Begitu juga dengan kopi, petani menanamnya dibukit-bukit dibelakang dusun.
Di Kedurang terdapat sebuah sungai, yaitu sungai air Kedurang. Dengan adanya air sungai sistem irigasi sawah menjadi lancar. Sawah terairi dengan mudah, sehingga hasil panen bagus. Beras Kedurang terkenal hingga ke Pulau Jawa. Beras kedurang berkualitas baik, berasnya putih, pulen dan beraroma wangi sehingga enak bila memakannya.
Petani padi menanam padi maksimal tiga kali dalam setahun. Saat menanam padi, penduduk melakukannya dengan cara berkelompok. Para pekerja kelompok ini diupah oleh orang yang memiliki sawah dengan padi hasil panen kelak. Yang melakukan kerja kelompok ini adalah kaum ibu-ibu.
Tidak hanya dalam menanam padi mereka bekerja kelompok, namun juga saat panen tiba. Memotong padi, merontokkan padi mereka bekerja kelompok. Namun dalam proses penjemuran padi hingga penggilingan padi mereka tidak bekerja kelompok lagi, hanya yang memiliki padi yang mengerjakannya.
Untuk tempat penyimpanan beras orang Kedurang menyimpannya di sebuah pondok yang terletak di depan atau disamping rumah. Lumbung padi ini di sebut “Tengkiang”. Tengkiang berukurang empat kali tiga meter persegi.Untuk meggiling padi hingga menjadi beras masyarakat Kedurang dulu menngunakan tumbukan yang dinamakan “lesung”, dan alat penumbuknya dinamakan “anak lesung”. Yang menumbuk padi menjadi beras biasanya adalah ibu-ibu. Namun juga bisa dilakukan oleh kaum pria.
Lemang adalah makanan yang biasanya disajikan dengan tapai. Meski lemang selalu tersedia setiap saat, namun keberadaan lemang akan ‘lebih terasa’ pada saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Saat ini lemang banyak dijual di banyak daerah, namun para penggemar lemang akan sepakat bahwa lemang yang paling enak adalah lemang yang berasal dari daerah asalnya, yakni Kedurang.
Lemang bisa dianalogikan dengan lontong jika di jawa ataupun ketupat, hanya saja rasanya dan cara pembuatannya sedikit berbeda. Perbedaan terutama karena adanya unsur santan, sehingga membuat lemang lebih gurih dan relatif berlemak. Perbedaan lainnya adalah bahan pembuatnya. Meski bahan dasar lemang adalah beras, namun ada juga yang menggunakan beras ketan atau bahkan ketan. Yang membedakan beras dan beras ketan atau ketan adalah daya tahan serta cita rasanya.
Cara membungkus lemang hampir serupa dengan lontong, namun cara memasaknya yang membuatnya juga cukup unik, yakni dengan memasukkan beras ketan ke dalam bambu. Selanjutnya bambu tersebut dibakar. Cara membakar lemang akan menentukan rasa. Secara tradisional, bambu ini biasanya dibakar dengan menggunakan kayu bakar selama waktu tertentu. Sedangkan di jaman modern seperti sekarang, metode memasaknya beraneka ragam, bisa menggunakan oven, microwave, ataupun kompor gas. Namun tentu saja rasanya tidak seenak lemang yang dimasak dengan cara tradisional.
Lemang yang terbuat dari beras ketan lebih enak dimakan bersamaan tapai ketan hitam, dibandingkan dengan lemang yang terbuat dari beras. Rasanya yang gurih serta teksturnya yang kenyal membuat lemang beras ketan lebih cocok di lidah penulis. Sedikit subyektif memang, tapi kenyataannya, lemang beras ketan lebih cepat habis dibandingkana lemang beras biasa.

4 comments:

  1. ENJAK DIMANE, CEFRITE KABAH INI DING.. TOLONG KIRIMKAN BUKTI USTIK SAJE..?

    ReplyDelete
  2. Asli njak kami kedurang nian cerite tu,,,, teghingat nga bak/mak, aku mbace cerite kamu ni kang,,,,

    ReplyDelete
  3. sanak blh mintak nmr hp yg bisa di hubungi ? aku ndak sharing ringan masalah adat kedurang untuk bahan skripsi kirim via email sanak nmr hp nyo tolong nn rachmataqbar@yahoo.co.id

    ReplyDelete
  4. Mantap.. Hebat dan bangga ade ye melestarikan cerite tentang kedurang

    ReplyDelete